Tahun 2001 di kuliah awal tahun pertama saya sempat merasa minder ketemu teman-teman SMU. Alasannya, karena rata-rata teman-teman saya itu meneruskan kuliahnya di universitas negeri dan universitas swasta ternama. Kayaknya kalo dengar cerita tentang kampus mereka dan juga kegiatan-kegiatan mahasiswanya yang beragam bikin iri deh. Pasti seru banget di sana pikir saya. Timbul perasaan nyesel kenapa saya memilih bersekolah di sekolah tinggi tempat saya kuliah waktu itu. Saya juga sempat kepikiran untuk pindah kuliah saja ke universitas ternama itu. Tapi saya sadar harus back to the reality. Orangtua saya nggak sanggup membiayai uang semesteran universitas ternama yang sudah sangat-sangat mahal. Apalagi saya menyadari hanya mempunyai kemampuan akademik yang biasa-biasa saja. So, saya memutuskan untuk tetap meneruskan kuliah di tempat kuliah itu.
Walau lingkup pergaulannya terbatas tidak seperti universitas justru itu menjadi kelebihannya. Saya jadi bisa lebih mengenal lebih dekat teman-teman. Baik senior, maupun junior kami semua akrab banget. Nggak ketinggalan pak satpam kampus, ibu kantin dan juga para office boy. Dan yang bikin saya makin semangat belajar dikelas adalah dosen-dosennya. Para dosennya bisa diajak berdialog panjang lebar mengingat sekelas hanya diisi sekitar 20 orang. So saya bisa banyak tanya dan ngasih pendapat tanpa takut dicuekin sama dosennya. I really enjoy it!
Satu hal lagi karena saya lumayan bisa bergaul (ciee..kumat deh narsisnya) anak-anak kampus mempercayakan saya untuk masuk kepengurusan klub jurnalistik. Dari sini saya belajar banyak tentang berorganisasi dan mengenal dunia jurnalistik kampus. Saya benar-benar bangga akan kemajuan saya. Saya nggak perlu lagi merasa minder. Karena menurut saya yang penting bukan kamu bersekolah dimana tapi bagaimana kita memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk terus belajar dan berprestasi. ‘Tul nggak?
|